Pemahaman Ruang dan Waktu 1

Pembangunan konsep dasar Ruang dan waktu memiliki pijakan dasar dari teori yang telah di bangun oleh albert einstein dengan teori yang paling di kenal dengan nama teori relativitas. teori ini mampu menjelaskan relatifitas waktu sekaligus relativitas ruang.

dalam konsep pemikiran saya ” manusia mampu untuk berwahana ke masa lalu” tetapi untuk di garis bawahi “hanya masa lampau”.  teori ini nantinya dapat di gunakan sebagai pijakan untuk kemajuan teknologi manusia antara lain :

  1. wahana perjalanan manusia ke masalalu.
  2. Mengembangkan sebuah senjata yang melampaui Nuklir.
  3. mengakhiri perang nuklir
  4. Menjawab sebuah filosofi dasar manusia
  5. menjawab kebenaran dan menjawab keberadaan tuhan

sehebat itukah teori itu….. saya jawab dengan lantang “YA”

Konsep ini nantinya akan menjadikan sebagai sebuah ujung perjalanan manusia, sebuah akhir evolusi manusia. mejawab ketuhanan, keagamaan, keghoiban, dan puncak dari ilmu yang di berikan tuhan pada manusia. dan merupakan jalan akhir perjalanan dunia.

teori ini di bangun dengan dasar dari ilmu agama islam.
dasar yang harus di persiapkan untuk konsep ini adalah

  1. Pemahaman dasar “lauhful mahfudz”
  2. Pemahaman kimia dasar unsur
  3. Pemahaman biologi dasar DNA
  4. Pemahaman dasar fisika
  5. sedikit matematika.
  6. pengetahuan dasar sistem informasi

Permulaan
Segala sesuatunya berawal dari kalam, kalam ALLAH, ya dari sanalah segalanya tercipta sebuah bahasa tuhan. dlam awa penciptaan qolam atau penalah yang ALLAH ciptakan.

Abu Dawud dari Abu Hafshah Al-Syami, ia menceritakan, Ubadah bin Shamit mengatakan kepada puteranya, wahai puteraku, sekali-kali engkau tidak akan menikmati rasa iman sehingga engkau mengetahui bahwa apa yang menimpamu itu tidak untuk menyalahkanmu, dan apa yang menjadikan engkau salah bukan untuk menimpamu, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda:

“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah qalam (pe-
na), lalu dikatakan kepadanya, ‘Tulislah.’ Ia menjawab, ‘Ya Tuhanku,
apa yang harus aku tulis?’ Dia menjawab, ‘Tulislah takdir segala se-
suatu sampai hari kiamat tiba.”

Ubadah bertutur lagi, wahai puteraku, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi w a sallama bersabda:

“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan tidak seperti ini, maka
ia bukan termasuk umatku.” [2]

Penulisan takdir dengan pena dilakukan pada waktu yang bersamaan
dengan penciptaannya. Hal itu berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya, dari Ubadah bin Shamit, ia bercerita, ayahku pernah memberitahuku, ia menceritakan, aku pernah masuk rumah Ubadah yang ketika itu sedang jatuh sakit. “Apakah dalam sakitmu ini engkau mengkhayalkan kematian?” Maka kujawab, “Wahai ayahku, berikanlah wasiat kepadaku dan berijtihadlah untukku.” Maka ia pun berujar, “Dudukkanlah aku.” Dan ketika orang-orang mendudukkannya, ia bertutur, “Wahai puteraku, engkau tidak akan pernah merasakan nikmatnya iman dan tidak akan sampai pada ilmu yang sebenarnya mengenai Allah Tabaraka wa Ta ‘ala sehingga engkau beriman kepada qadar, yang baik maupun yang buruk.” Lalu kutanyakan, “Wahai ayahku, bagaimana aku dapat mengetahui baik dan buruknya qadar (takdir)?” Ia menjawab, “Engkau mengetahui bahwa apa yang menjadikan kamu bersalah bukan sebagai musibah bagimu. Dan musibah yang menimpamu bukan untuk menyalahkanmu. Wahai puteraku, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda:

Sesungguhnya sesuatu yang pertama kali diciptakan Allah adalah qa-
lam (pena). Kemudian Dia berfirman, ‘Tulislah. ‘ Maka pada saat yang sama berlaku pula apa yang telah tercipta sampai hari kiamat.

Wahai puteraku, jika engkau mati dalam keadaan tidak percaya pada
hal itu, maka engkau masuk neraka.” [3 ]

Dan apa yang ditulis qalam itu adalah takdir. Hal itu didasarkan pada
hadits yang diriwayatkan Ibnu Wahab, Umar bin Muhammad pernah memberitahuku bahwa Sulaiman bin Mahran pernah memberitahunya, ia bercerita, Ubadah bin Shamit pernah menuturkan, “Panggilkan puteraku sehingga aku dapat memberitahukan kepadanya apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama, beliau bersabda:

“Sesungguhnya sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh Allah dari
makluk-Nya ini adalah qalam. Lalu Dia berfirman, ‘Tulislah.’ Maka
qalam itu bertanya, ‘Ya Tuhanku, apa yang harus aku tulis?’ Dia men-
jawab, ‘Takdir.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Barangsiapa
tidak beriman kepada qadar, baik dan buruknya, maka Allah akan membakarnya dengan api neraka.” [4 1

Dari Abdullah bin Abbas, ia bercerita, pada suatu hari aku pernah be-
rada di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallama, “Wahai anak muda, sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat:

“Peliharalah Allah, niscaya Dia akan memeliharamu. Peliharalah Allah,
niscaya engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, jika umat ini bersatu untuk memberikan manfaat (kebaikan) kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan memberikan manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah bagimu. Dan jika mereka bersatu untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mencelakakan kamu, kecuali dengan apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Qalam-qalam telah diangkat dan telah kering pula (tinta) lembaran-lembaran ini.”[5]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia bercerita, aku pernah berta-
nya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang laki-laki yang masih muda dan aku takut diriku berbuat zina, sedang aku tidak menemukan sesuatu yang bisa aku gunakan untuk menikahi wanita?” Beliau pun terdiam. Kemudian aku katakan lagi hal yang sama, dan belilau pun masih tetap mendiamkanku. Kemudian aku bertanya seperti itu lagi, lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Wahai Abu Hurairah, telah kering qalam (pena) dengan apa yang kamu temui. Maka kebirilah (bervasektomilah) atas keadaan itu atau tinggalkanlah vasektomi itu.”

Hadits di atas diriwayatkan Imam Bukhari, dalam bukunya ia berkata,
Ashba’ bin Wahab pernah memberitahu kami , dari Yunus dari Zuhri, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah.

Dan diriwayatkan Ibnu Wahab dalam kitab Al-Qadar. Di dalamnya
Abu Hurairah mengatakan, “Maka izinkanlah aku bervasektomi.” Lalu beliau mendiamkanku sehingga aku mengatakan hal itu tiga kali, hingga akhirnya beliau bersabda, “Telah kering qalam atas apa yang engkau temukan.”16 1

Abu Dawud Al-Thayalus i menceritakan, Abdul Mukmin, Ibnu Abdullah pernah memberitahu kam i, ia bercerita, kami pernah berada bersama Hasan, lalu Abu Yazid bin Abu Maryam Al-Saluli mendatanginya dengan bersandar di atas tongkatnya seraya bertanya, “Wahai Abu Sa’id, beritahukan kepadaku mengenai firman Allah Azza wa jalla:

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi ini dan tidak pula
pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul
Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya.” (Al-Hadid22)

Maka Hasan pun menjawab, “Baik. Demi Allah, Allah menetapkan
suatu ketetapan di langit lalu Dia menentukan baginya ajal, bahwa ia akan terjadi pada hari ini, jam sekian, begini dan begitu, pada yang khusus dan yang umum. Sampai seseorang yang mengambil tongkatnya, ia tidak mengambilnya melainkan telah ada dalam takdir.”

Dan Abu Yazid berkata, “Wahai Abu Sa’id, sesungguhnya aku telah
mengambilnya dan aku sudah tidak membutuhkannya lagi, lalu tidak sabar lagi untuk mendapatkannya lagi.”

Maka Hasan bertutur, “Tidakkah engkau melihat?”

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai dhamir (kata ganti) da-
lam firman-Nya, “Min qabli an nabra dha “.

Ada yang mengatakan bahwa dhamir {Had) itu kembali kepada Anfus
(jiwa), karena kedekatannya dengan Allah. Ada juga yang berpendapat bahwa dhamir itu kembal i pada kata Al-Ardh (bumi). Dan ada juga yang berpendapat bahwa ia kembali pada Al-Musibah (musibah). Yang benar, dhamir itu kembali pada Al-Bariyyah (alam semesta) yang mencakup segala hal di atas. Hal itu ditunjukkan oleh siyaq (susunan kata) pada ayat di atas.

Dan firman-Nya, “Nabra’aha ” sehingga ketiga takdir itu tersusun dalam satu sistem. Wallahu a’lam.

Ibnu Wahab berkata, Umar bin Muhammad memberitahuku bahwa
Sulaiman bin Mahran memberitahunya, ia bercerita, Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Sesungguhnya sesuatu yang pertama kali diciptakan Allah Azza wa Jalla dari makhluk-Nya adalah qalam. Lalu Dia berfirman, ‘Tulislah.’ Maka ia pun menulis segala sesuatu yang ada di dunia sampai hari kiamat. Kemudian dipadukan antara kitab pertama (Lauhul Mahfuz) dengan amal perbuatan manusia, maka tidak akan berlawanan meski hanya alif wawu, maupun miim.”

Dari Abdullah bin Amr, ia bercerita, aku pernah mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda:

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan makhluk-Nya dalam
kegelapan, lalu Dia memancarkan cahaya-Nya kepada mereka. Ba-
rangsiapayang mendapatkan sedikit dari cahaya tersebut, berarti ia
telah mendapatkan petunjuk. Dan barangsiapa yang tidak mendapat-
kannya, berarti dia telah sesat.”

Abdullah bin Amr mengatakan, oleh karena itu aku katakan, “Telah
kering qalam atas apa yang telah terjadi.” [7 ]

Abu Dawud meriwayatkan, Abbas bin Walid bin Mazid memberitahu
kami, ia berkata, ayahku pernah memberitahuku, di mana ia bercerita, aku pernah mendengar Al-Auza’ i mengatakan, Rubai’ah bin Yazid dan Yahya bin Abi Amr Al-Syaibani pernah memberitahuku, ia menuturkan, Abdullah bin Fairuz Al-Dailami memberitahuku, ia bercerita, aku pernah masuk rumah Abdullah bin Amr bin ‘ Ash dan ia sedang berada di kebun miliknya di Thaif yang diberi nama Al-Wahth, lalu kukatakan, “Sesuatu yang engkau sampaikan kepadaku, yang engkau berbicara tentangnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama, beliau bersabda:

“Barangsiapa meminum khamr, maka taubatnya tidak akan diterima
selama empat puluh pagi. Dan sesungguhnya orang yang sejahtera
adalah yang sejahtera di dalam perut ibunya.” [8]

la juga mengatakan, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallama bersabda:

“Sesungguhnya Alah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan,
kemudian Dia memancarkan cahaya. Barangsiapa yang pada hari itu
memperoleh sedikit dari cahaya itu, maka ia telah mendapat petunjuk.
Dan barangsiapa tidak memperolehnya, berarti ia telah tersesat. Oleh
karena itu, kukatakan, ‘Telah kering qalam atas ilmu Allah.” [9]

Dalam Musnadnya, Imam Ahmad(i0 )meriwayatkan hadits yang lebih panjang dari yang di atas, yaitu dari Abdullah bin Fairuz Al-Dailami, di mana ia bercerita, aku pernah masuk menemui Abdullah bin Amr, yang ketika itu ia sedang berada di kebun miliknya di Thaif yang diberi nama Al-Wahthu, ia menahan seorang pemuda dari kaum Quraisy yang bergelimang dalam minuman khamr. Lalu kukatakan, telah sampai kepadaku hadits darimu, bahwa barangsiapa meminum minuman khamr, maka tidak akan diterima taubatnya selama empat puluh pagi. Dan bahwasanya orang yang sejahtera adalah orang yang sejahtera di dalam perut ibunya. Dan bahwa siapa yang mendatangi Baitul Maqdis, dan tidak ada yang menyenangkan hatinya kecuali shalat di dalamnya, maka dosa-dosanya akan lepas darinya seperti pada saat ia dilahirkan oleh ibunya.

Ketika pemuda itu mendengar penyebutan khamr, maka ia menarik
tangannya dari Abdullah bin Amr, dan kemudian pergi. Maka Abdullah bin Amr pun berkata, “Sesungguhnya aku tidak pernah memperkenankan seseorang mengatakan dariku sesuatu yang belum pernah aku katakan. Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda:

“Barangsiapa meminum seteguk minuman khamr, maka tidak akan
diterima shalatnya selama empat puluh pagi. Jika ia bertaubat, maka
Allah akan mengampuninya. Dan jika ia mengulanginya kembali,
maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh pagi. Dan jika ia bertaubat, maka Allah akan mengampuninya. Dan jika ia mengulanginya kembali? Abdullah bin Amr mengatakan, aku tidak tahu pada ketiga atau keempat kalinya ? maka hak bagi Allah untuk menyiramnya dengan lumpur panas pada hari kiamat kelak.

Abdullah bin Amr juga menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda:

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menciptakan makhluk-Nya
dalam kegelapan, kemudian Dia memancarkan cahaya-Nya kepada
mereka. Barangsiapa yang pada itu mendapatkan bagian dari cahaya
itu, berarti ia telah mendapatkan petunjuk. Dan barangsiapa tidak
mendapatkannya, berarti ia telah tersesat. Oleh karena itu aku kata-
kan, ‘Telah kering qalam atas ilmu Allah. “[12]

Dan aku (Abdullah bin Amr) juga menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda:

“Sesungguhnya Sulaiman bin Dawud pernah meminta kepada Allah
Azza wa Jalla tiga hal, lalu Dia memberikan dua hal. Dan kami berha-
rap hal ketiga itu menjadi bagian kita. Sulaiman meminta kepada Allah
suatu hukum yang berlawanan dengan hukum-Nya, lalu Allah mem-
berikan hal itu kepadanya. Selain itu, Dia juga meminta kekuasaan
yang tidak layak bagi seorang pun setelahnya, maka Dia pun memberikannya kepadanya. Dan ia meminta kepada-Nya, siapa saja orang yang keluar dari rumahnya yang tidak bertujuan kecuali shalat di masjid ini (masjid Nabawi), maka ia akan keluar dari dosa-dosanya
seperti pada saat ia dilahirkan ibunya. Dan kita berharap Allah Azza
wa Jalla memberikan hal itu kepada kita.” [I3]

Syifa’ul ‘Alil Fii Masaailil Qadha’ wal Qadar wal Hikmah wat Ta’lil
Pengarang: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Footnote
[1] Diriwayatkan Imani Muslim dalam buku Shahih Muslim, juz IV, kitab Al-Qadar, hadits no. 2044. Dan Imam Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi, juz IV, hadits no. 2156. Dan Imam Ahmad,
juz II, hal. 169.
[2] Diriwayatkan Abu Dawud, juz IV, hadits no. 4700. Imam Tirmidzi, juz IV, hadits no. 2155. ImamBaihaqi, juz X, hadits no. 204. Ibnu Abi ‘Ashim, juz I, hadits no. 48. Al-Albani mengata-
kan bahwa hadits itu shahih.
[3] Diriwayatkan Abu Dawud, juz IV, hadits no. 4700. Imam Tirmidzi, juz V, hadits no. 3319. Imam Ahmad, juz V, hadits no. 317. Dan hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi.
[4] Takhtij hadits ini telah disampaikan pada hadits ke-2 dan ke-3. Sebagaimana yang diriwayatkan Abu Dawud Al-Thayalusi, juz I, hadits no. 577, hal. 79.
[5] Diriwayatkan Imam Tirmizdi, juz IV, hadits no. 2516. Al-Hakim, juz III, hadits no. 541. Imam
Ahmad di dalam Musnadnya, juz I, hadits no. 293. Dan Al-Albani menshahihkan hadits ini di dalam buku Shahih Al-Jami’. Sedangkan Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih.
[6] Diriwayatkan Imam Bukhari, juz IX, hadits no. 5076. Nasa’i, juz VI, hadits no. 3215. Dan hadits ini juga disebutkan Al-Albani dalam buku ShahihulJami’, 7832. Dalam buku Al-Fath, Ibnu Hajar mengatakan, “Jawaban itu menunjukkan bahwa semua perkara menurut takdir Allah di Azal. Vasektomi atau tidak adalah sama, karena apa yang telah ditakdirkan pasti terjadi. Dan sabdanya, ‘”AlaaDzalika” adalah berkaitan dengan takdir itu sendiri, yakni bervasektomilah pada saat engkau benar-benar pada puncak ilmu tentang qadha’ dan qadar, karena segala sesuatu itu tunduk pada qadha’ dan takdir Allah. Hal itu tidak berarti menunjukkan pada pembolehan vasektomi, tetapi menunjukkan pada pelarangannya. Seolah-olah beliau bertutur, “Jika engkau mengetahui bahwa segala sesuatu itu tunduk pada qadha’ Allah, maka vasektomi tidak akan mendatangkan manfaat.
[7] Diriwayatkan Imam Tirmidzi, juz V, hadits no. 2642. Imam Ahmad, juz II, hadits no. 176. Al-Hakim, juz I, hadits no. 30. Imam Baihaqi dalam Sunannya, juz IX, hadits no. 4. Dan Ibnu Abi Ashim dalam Sunannya, juz I, hadits no. 107. Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.
[8] Diriwayatkan Imam Nasa’i (VIII/5686). Imam Ahmad dalam Musnadnya, (11/176). Al-Hakim
(1/30). Sedangkan Ahmad Syakir mengatakan, isnad hadits ini shahih.
[9] Takhrij hadits ini telah dikemukakan pada hadits nomor 7.
[10] Yaitu Imam Ahmad bin Hambal Al-Syaibani. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H. Ia dibesarkan di Baghdad dan di sanalah fahamnya berkembang dengan baik, dan mengalami kemuraman di Mesir selama pemerintahan Al-Ayyubi. Ahmad bin Hambal pernah menjalani cobaan dalam menentang pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Dan itu terjadi pada masa pemerintahan Ma’mun, Mu’tashim, dan Al-Watsiq, Kepadanya madzhab Hambali berintisab. Ia meninggal pada tahun 241 H. Lih. buku A’lamulMuwaqqi’in, Ibnu Qayyim, juz I, hal. 14.
[11] Diriwayatkan Ibnu Majah (11/3377). Imam Ahmad dalam Musnadnya. (11/176). Al-Albani mengatakan, hadits ini shahih.
[12] Takhrijnya telah dikemukakan pada hadits no. 7.
[ 13] Diriwayatkan Ahmad dalam Musnadnya (11/176). Nasa’i (11/692). Dan Al-Hakim 1/30). Ibnu Hibban (III/1631).

(bersambung)